Feb 11, 2011

Jadi Presenter TV dalam pandangan Islam


Untuk kamu yang lulusan fakultas komunikasi, atau pengen banget ngembangin kemampuan komunikasi kamu dimedia, tentu banyak banget pertimbanganya, kira2 dibolehin ga ya dalam islam, yuk qra sama2 liat analisnya, :

HUKUM ASAL menjadi presenter TV adalah mubah dengan syarat aktivitas-aktivitas dalam profesi tersebut tidak menghantarkan pada keharaman. Sebaliknya, jika diduga kuat atau dipastikan menghantarkan pada keharaman maka hukumnya haram. Ini harus dilihat fakta kasus per kasus karena satu kasus dengan kasus lainnya bisa jadi faktanya berbeda, sehingga penghukumannyapun belum tentu dapat disamaratakan pada semua kasus. Dalam profesi presenter, minimal harus dicermati point-point aqad ijaroh yang mengikat bentuk-bentuk jasa atau aktivitas yang dituntut pihak stasiun TV pada presenter, mulai dari tuntutan atas cara berpenampilan, arahan materi, atau waktu kerja. Point-point aqad inilah yang akan menentukan bentuk-bentuk jasa atau aktivitas presenter dalam sebuah acara secara mengikat. Maka dari itu, hukum menjadi presenter hukumnya ada perincian (tafshiil) sebagai berikut:

Jika dalam point-pint aqad tersebut tidak terdapat tuntutan untuk melakukan aktivitas kemungkaran atau membahayakan, berarti pekerjaan yang dituntut adalah pekerjaan halal. Maka, aqad tersebut hukumnya mubah untuk diikuti. Dalam hal ini berlaku qoidah: “Tiap pekerjaan yang halal, maka hukum mengontraknya adalah halal juga. Sehingga transaksi ijarah tersebut boleh dilakukan.” (an-Nabhani, Nizhomul-Iqthishodi fil-Islam).

Namun jika di dalamnya dituntut melakukan aktivitas/pekerjaan haram seperti: ber-tabarruj dalam berpenampilan; mengarahkan isi pembicaraan pemateri pada opini yang bertentangan dengan fikroh-fikroh Islam, misalnya Islam tidak mengajarkan perang/bertentangan dengan thoriqoh dan kaifiyah dakwah yang dicontohkan Rasul SAW (seperti tidak terbuka dalam menjelaskan qodiyah mashiriyah umat yang sebenarnya, sehingga materi hanya difokuskan pada permasalahan akhlak yang diklaim sebagai pangkal problematika umat); presenter dituntut untuk memandu sebuah materi yang dapat mengakibatkan dhoror bagi umat Islam seperti materi tentang perang melawan terorisme tetapi ala AS (yang biasanya berujung pada penyudutan umat Islam dan pendistorsian makna jihad); atau jadual kerjanya menuntut presenter perempuan meninggalkan kewajiban-kewajiban dalam Islam seperti dakwah, memakai jilbab, atau mengurus rumah tangga, maka aqad ijaroh ini haram untuk diikuti. Dalam kasus ini berlaku qoidah: “Laa tajuuzu ijaratul ajiir fiimaa manfa’utuhu muharramah (Tidak boleh mengadakan kontrak [akad] tenaga kerja pada jasa [manfaat] yang diharamkan." (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 93)

Untuk kasus menjadi presenter pada acara keagamaan di stasiun TV sekuler, sudah kita ketahui bersama bahwa stasiun-stasiun TV semacam ini cenderung menghalalkan segala cara untuk menaikkan rating atau membuat menarik acara. Dalam acara-acara keagamaan misalnya, materi yang disampaikan selalu mengikuti kemauan masyarakat dan pemerintah yang hanya membatasi kajian Islam pada materi akhlak dan ibadah semata, lebih dari itu seringkali mengopinikan Islam sebagai agama yang tidak mengenal kekerasan sama sekali, presenternyapun jika laki-laki dituntut bersolek memakai make-up layaknya perempuan dan jika perempuan sering dituntut memakai pakaian yang disediakan stasiun TV yang sering kali tidak syar’i (kadang bentuknya gamis namun ngatung atau belah bagian bawahnya, kadang tidak lebar sehingga beberapa bagian aurat terbentuk), kemudian kita pun sudah sering melihat di TV para presenter perempuan mayoritas ber-tabarruj, apalagi sponsor acara-acara tersebut diantaranya adalah perusahaan kosmetik dan fashion. Maka, kuat dugaan saya bahwa hukum muslimah menjadi presenter di stasiun TV sekuler akan lebih banyak haramnya daripada halalnya. Jika hukum haram dan halal berkumpul dalam satu keadaan, dan ada dugaan kuat lebih banyak haramnya daripada halalnya, maka menurut saya menjadi presenter pada acara keagamaan di TV sekuler saat ini adalah haram hukumnya secara syar’i. Kaidah fiqih menyebutkan: “Idza ijtama’a al-halal wa al-haram ghalaba al-haramu (Jika halal dan haram bertemu, maka yang haram itu yang menang [lebih kuat])" (as-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir fi Al-Furu).

Namun, jika dapat ditemukan stasiun TV yang tidak menuntut para presenternya melakukan keharaman, maka hukum menjadi presenter di acara-acara stasiun tersebut mubah, sehingga yang diharamkan hanya pada kasus menjadi presenter stasiun TV sekuler saja. Satu qoidah menyatakan: “al-Syai’u al-mubah idza awshala fardun min afradihi ila dhararin, hurrima dzalika al-fardu wahdahu wa baqiya al-syai’u mubahan (Sesuatu yang asalnya mubah jika ada satu kasus di antaranya yang berbahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, sedangkan sesuatu itu tetap mubah hukumnya).” (an-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hlm. 89). Wallahu a’lam... (teh dian leonita) makasih banyak ya teh pencerahanya :)

2 comments:

  1. Hayuu buu...nulis lagii :D, lagi hamil banyakin menulis bagus banget lho buat janin #hoho..analisa semenamena :D#

    ReplyDelete
  2. afwan saran sy jgn gunakan foto wanita di artikel hehe krn stau sy wajah wanita tdk blh dipublikasi maaf jk slh kata

    ReplyDelete